26 Agu 2010

Peradaban VS Internet


Perkembangan dunia teknologi ternyata mampu menciptakan ruang peradaban baru dalam sendi-sendi pembangunan, pendidikan, budaya, sosial, politik, mental, pola pikir serta gaya hidup. Perlu digaris bawahi. era modernisasi tidak bisa dilepaskan dari dua kutub yang berlawanan, yakni positif dan negative yang sama-sama memiliki daya maghnit.

Menyimak kemajuan zaman yang begitu pesat khususnya dibidang informasi serba canggih saat ini dengan hadirnya media internet, rupanya mampu mencakup seluruh sub-sub aspek, disuguhkan secara instant dan bebas tanpa terkecuali siapa saja dapat megkonsumsi.

Yang menjadi tantangan utama adalah kesiapan atau tidaknya masyarakat dihadapkan pada modernisasi. Karena itu guna menyingkapinya dikembalikan lagi kepada masyarakat tanpa melepaskan tata nilai lingkungan sosial serta mental budaya. Sebagai upaya kesiapan diri masyarakat harus dituntut dapat melangkah mancapai manfaat tepat guna. Jika tidak, kepribadian masyarakat itu sendiri yang justru terseret ke arah negative.

Satu contoh kecil tapi sebenarnya bisa berpengaruh besar bagi perkembangan kepribadian mental dan budaya masyarakat. Yakni, sebagaimana diwartakan oleh banyak media tentang gambaran dampak internet mengorbankan para pelajar terjadi dekadensi moral, misal pemerkosaan. Dan masih banyak dampak-dampak yang lain yang lebih besar dan fatal. Terkadang masyarakat itu tak menyadarinya. Seperti kehidupan glanmour yang menjadi kiblat trend gaya hidup (style) - tidak sesuai dengan budaya ketimuran - membiaskan kecemburuan sosial semakin membuat timbul ke permukaan, sehingga dapat merangsang tindak asusila atau kriminal. Dan bisa juga menimbulkan efek–efek lain dari factor-faktor tersebut.

Dalam kasus ini tidak ada yang tervonis salah dan dipersalahkan sebagai kambing hitam. Melainkan masyarakat sendirilah yang wajib bertanggung jawab dan mestinya menciptakan preventive control. Terlebih tahun ini merujuk pemerintah tentang telah disosialisasikan mata pelajaran via internet sebagai solusi jawaban atas harga buku semakin mahal serta tidak terjangkau oleh masyarakat.

Kini seluruh individu masyarakat memasang kaca mata balancing agar lebih jeli melihat ‘perbandingan dampak’ yang bakal timbul, supaya memberi perhatian khusus dalam hal ini. Sebab tidak menutup kemungkinan layanan ini bisa disalah gunakan atau malah memberi peluang kepada anak-anak generasi penerus bangsa berbuat dan melakukan hal yang neko-neko (jw), karena dirasa tak ada yang memperhatikan dan memberi pengarahan khusu mengenai activitas anak-anak sebagai netter.

Apakah harga buku lebih mahal ketimbang moral anak bangsa yang rusak? Atau kepribadian budaya haruskah tergadai dengan etiket tanpa didasari estetika budaya yang beradab?. Tidak salah jika suatu ketika nanti ada berita anak-anak menjadi mucikari menyetubuhi ibunya seniri. Sekarang saatnya masyarakat bergerak mulai dari diri sendiri untuk sadar menciptakan peradaban yang beradab melangkah mengimbangi era globalisasi-westernisasi. Kita harus mengarah-antarkan pembangunan anak-anak kepada pendidikan, budaya, mental, pola pikir serta gaya hidup yang mempunyai tatanan, bukan menjadi tontonan (hewani).

*) dimuat SURYA 2009

0 comments: