23 Nov 2021

PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

Oleh : ACHMAD ZAINUDDIN 

KATA PENGANTAR 
Sejarah peradaban Islam adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa silam yang diabadikan dimana pada masa itu Islam merupakan pokok kekuatan dan sebab timbulnya suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, kesusastraan, kesenian, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks . Sejarah peradaban Islam merupakan kemajuan politik kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah-ibadah, penggunaan bahasa, dan kebiasaan hidup bermasyarakat. Dalam perjalanan sejarah islam, pasca Baginda Nabi Agung Muhammad saw wafat. Kepemimpinan islam dipegang oleh khalifah sebagai kepala negara juga sebagai panglima pasukan Islam yang memiliki kewenangan luas dalam hal pemerintahan. Khalifah merupakan jabatan tertinggi namun tidak menjalankan fungsi kenabian. inilah awal era kekhalifahan dalam pemerintahan islam dan kekuasaan sebuah bangsa, hingga pada perjalanannya masa kekhalifahan berakhir pada tahun 1924 M . Sebuah simbol kejayaan peradaban sepanjang sejarah pernah terjadi pada masa kekhalifahan islam di Baghdad, tepatnya pada Pemerintahan Bani Abbasiyah sebagai penguasa ke dua kekhalifahan Baghdad yang lebih dikenal dengan Dinasti Abbasiyah adalah kekhalifahan Daulah Islamiyah terbesar dan berlangsung selama 524 tahun mulai tahun 750 M / 132 H -1258 M / 656 H. Sejarah ini perlu kita ketahui dan dipelajari sebagai cerminan generasi penerus Islam untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan sehingga mampu mencapai puncak kejayaan islam yang menguasai peradaban dan telah diakui oleh dunia. Selamat membuat peradaban 

 PENDAHULUAN 
A. Latar belakang Dinasti Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan setelah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Nama dinasti Abbasiyah dinisbatkan kepada al Abbas, Paman atau Kakak dari ayahanda Nabi Muhammad saw. Pendiri Dinasti Abbasiyah dan khalifah yang pertama adalah Abul Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutahlib, yang dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H dan masih keturunan Abbas bergaris dalam silsilah Bani Hasyim. Abu Abbas dikenal dengan gelar Abu Abbas As-Saffah, yang dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Arti kata as-Safah adalah orang yang murah hati dan ringan tangan, bukan orang yang banyak mengalirkan darah seperti yang dikenal banyak orang. Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan Ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah (A. Syalabi. 2008: 175). Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam, hingga mengalami puncak keemasan pada masa itu ditandai majunya ilmu pengetahuan. pendirian pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir, juga berbagai kemajuan di segala bidang seperti bidang pendidikan, ekonomi, politik dan sistem pemerintahan. B. Rumusan masalah 1. Sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah 2. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah 3. Peradaban yang dibangun Dinasti Abbasiyah C. Tujuan pembahasan 1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah 2. Untuk mengetahui pemerintahan islam pada masa Dinasti Abbasiyah 3. Untuk mengetahui Peradaban yang dibangun Dinasti Abbasiyah PEMBAHASAN A. SEJARAH BERDIRINYA DINASTI ABBASIYAH Ketika Dinasti Umaiyah melemah, kaum muslimin mencari-cari figur yang mampu mengembalikan kaum muslimin ke jalan yang benar dan menciptakan keadilan di antara mereka. Mereka berpendapat bahwa figur yang mampu berbuat demikian harus dari Bani Hasyim. Ditulislah surat mengenai hal itu kepada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abu Thalib, salah seorang ulama tepercaya. Tak lama kemudian, surat tersebut sampai juga kepada Khalifah Dinasti Umaiyah, Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M), sehingga Abu Hasyim merasa terancam nyawanya. Dia lalu melarikan diri ke Hamimah, yang termasuk wilayah Damaskus. Di sana sang paman, Ali as-Sajjad bin Abdullah bin Abbas tinggal. Ketika akan meninggal dunia, Abu Hasyim menyerahkan surat-surat yang dikirimkan kepadanya kepada Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dan berkata, “Dirikan dinasti baru dan pewarisnya adalah anak-cucumu”. Abu Hasyim meninggal dunia pada tahun 99 H/718 M . Sejak Umar bin Abd. Aziz (717-720 M / 99-101 H) khalifah ke 8 dari Daulah umaiyah naik tahta telah muncul gerakan oposisi yang hendak menumbangkan dinasti tersebut yang dipimpin oleh Ali bin Abdullah, cucu Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi dari kelompok Sunni dan menjalin kerja sama dengan kelompok Syi’ah yang sama-sama keturunan Bani Hasyim. Kemudian mereka menjalin kerja sama dengan orang-orang Persia, karena orang-orang Persia dianaktirikan oleh Dinasti Umaiyah, baik secara politik, ekonomi maupun sosial. Tujuan aliansi ini adalah menegakkan kepemimpinan Bani Hasyim dengan merebutnya dari tangan Bani Umayyah . Untuk mencapai tujuan itu, mereka memanfaatkan kelemahan Dinasti Umaiyah. Mereka melantik dan menyebar para propagandis terutama untuk daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan orang Arab. Ada dua tema propaganda. Pertama, al-Musawah (persamaan kedudukan), yang manarik kalangan muslim non Arab Karena mereka selama ini dianaktirikan oleh Daulah Umayyah, baik secara politik, sosial dan ekonomi. Dan kedua, al-Ishlah (perbaikan) artinya kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Hadits, yang menarik banyak kalangan ulama Sunni karena mereka melihat para khalifah Dinasti Umaiyah telah menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Pada mulanya mereka melakukan gerakan rahasia. Muhammad menjadikan Hamimah sebagai sentral perencanaan, konsolidasi, dan sistem kerja gerakan. Sedangkan, Kufah dijadikan sebagai pusat pembentukan opini dan Khurasan sebagai pusat penebaran opini itu. Setelah Muhammad meninggal, anaknya yang bernama Ibrahim menggantikannya pada tahun 125 H / 742 M. Pada saat itu pemerintahan Bani Umaiyah telah mengalami kemunduran yang sangat setelah meninggalnya Hisyam bin Abdul Malik. Pada saat yang sama gerakan Abbasiyah semakin gencar dan tersebar kemana-mana. Ketika aliansi dipimpin oleh Ibrahim bin Muhammad, gerakan itu berubah menjadi terang-terangan. Perubahan itu terjadi setelah mereka mendapat sambutan luas, terutama di wilayah Khurasan yang mayoritas penduduknya muslim non Arab. Pada tahun 129 H / 7 46 M, Ibrahim memerintahkan kepada seorang panglima militer yang cemerlang dan berbahaya serta cerdik, Abu Muslim al-Khurasany (seorang budak yang dibeli oleh Muhammad, ayah Ibrahim. Dia adalah kader yang dididik oleh Muhammad dan tinggal bersama anaknya Ibrahim. Dia membentuk pasukan militer yang terdiri dari 2.200 orang infantri dan 57 pasukan berkuda.) untuk mendeklarasikan gerakan ini di Khurasan. Abu Muslim pun melakukan apa yang diperintahkan oleh Ibrahim. Namun, Marwan bin Muhammad (khalifah terakhir Dinasti Umaiyah) menangkap dan memenjarakan Ibrahim di haran sebelum akhirnya dieksekusi. Saat merasa Ibrahim ajalnya sudah dekat, dia berpesan kepada saudaranya, Abu Abbas, untuk menjadi khalifah. Apalagi, pendukungnya sudah kuat dan kota Kufah hampir dikuasai. Dia pun meminta agar Abu Abbas melarikan keluarganya ke Kufah untuk berlindung pada Abu Salamah al-Khallal, pendukung Abbasiyah. Segeralah Abu Abbas pindah dari Humaimah ke Kufah diiringi oleh para pembesar Abbasiyah yang lain seperti Abu Ja’far,Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali. Abu Abbas pun memindahkan markasnya ke Kufah dan melakukan gerakannya dengan cara sembunyi-sembunyi. Tak lama kemudian, Abu Abbas keluar dari persembunyiannya dan bersama-sama dengan pengikutnya berangkat menuju Masjid Kufah dan mendeklarasikan pemerintahannya. Dia dibaiat oleh penduduk Kuffah diangkat sebagai khalifah kaum muslimin di masjid itu pada 3 Rabiul Awal 132 H / 749 M. Saat pelantikannya, Abu Abbas berpidato. Khotbahnya itu menjadi tanda lahirnya Dinasti Abbasiyah. Dia menutup pidatonya dengan ucapan, “Bersiap-siaplah hai umat manusia karena aku adalah as-Saffah” Mendengar hal itu, khalifah Umaiyah Marwan bin Muhammad memimpin dan menggerakkan pasukan berkekuatan 120.000 orang tentara menuju Kufah. Untuk menghadapi serangan itu, Abu Abbas memerintahkan pamannya Abdullah bin Ali memimpin pasukan Abbasiyah menyongsong pasukan tersebut. Kedua pasukan itu bertemu di pinggir sungai Zab A’la, anak sungai Tigris, sebuah kawasan di dekat Mosul. Pasukan Umaiyah dapat dikalahkan, namun Marwan selamat dan kembali ke Syam. Abdullah bin Ali melanjutkan serangan ke Syiria. Kota demi kota berjatuhan. Terakhir Damaskus, ibu kota Dinasti Umaiyah menyerah pada tanggal 26 April 750 M. Setelah kalah, Khalifah Marwan melarikan diri dari kejaran pasukan Abdullah bin Ali sehingga ke Fustat Mesir. Pengejaran dilanjutkan adiknya, Shalih dan akhirnya dia tertangkap setelah selalu melarikan diri selama delapan bulan dari satu tempat ke tempat lain dan dibunuh oleh pasukan Abbasiyah pada tanggal 5 Agustus 750 M / 132 H. Marwan meninggal dunia di Busir (di dekat desa Abu Shair), wilayah Al- Fayyum. Dengan terbunuhnya khalifah terakhir Dinasti Umaiyah, maka resmilah berdiri Dinasti Abbasiyah yang di pimpin oleh khalifah pertamanya, yaitu Abbu Abbas Ash-Shaffah dengan pusat kekuasaan awalnya di Kufah. Semua wilayah pemerintahan berada di bawah kendali Dinasti Abbasiyah kecuali Andalusia. 

B. PEMERINTAHAN DINASTI ABBASIYAH 
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima periode : 
1. Periode Pertama (132 - 232 H / 750 - 847 M) 
2. Periode Keduai (232 - 334 H / 847 - 945 M) 
3. Periode Ketiga (334 - 447 H / 945 - 1055 M) 
4. Periode Keempat (447 - 590 H /1055 - l194 M) 
5. Periode Kelima (590 - 656 H / 1194 - 1258 M) 

Periode Pertama (132 - 232 H / 750 - 847 M) 
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Dinasti Abasiyah telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya. Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Periode pertama adalah periode terbaik, karena mampu mewujudkan tiga hal besar yaitu, satu, mengokohkan sendi-sendi Dinasti Abbasiyah dan menumpas seluruh usaha untuk merebut kekuasaan. Dua, menegakkan hukum Islam yang relatif berhasil menyatukan seluruh elemen masyarakat. Tiga, melindungi Islam dan peradabannya. Yang berkuasa pada khalifah masa keemasan ini adalah, 
1. Abu Abbas as-Saffah (132–136 H / 750-754 M), 
2. Abu Ja’far al-Manshur (136–158 H / 754-775 M), 
3. Abu Abdullah Muhammad al-Mahdi (158–169 H / 775-785 M), 
4. Abu Muhammad Musa al-Hadi (169–170 H / 775-786 M), 
5. Abu Ja’far Harun ar-Rasyid (170–193 H / 786-809 M),
6. Abu Musa Muhammad al-Amin (193–198 H / 809-813 M), 
7. Abu Ja’far Abdullah al-Ma’mun (198–218 H / 813-833 M), 
8. Abu Ishaq Muhammad al-Mu’tashim (218–227 H / 833-842 M),  
9. Abu Ja’far Harun al-Watsiq (227–232 H / 842-847 M). 

Periode Kedua (232 - 334 H / 847 - 945 M) 
Periode kedua Abbasiyah diawali dengan pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Muhammad Al-Mutawakkil (ke-10). Periode disebut periode masuknya bangsa Turki. Sejarah masuknya orang-orang Turki ke dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah diawali dari kebijaksanaan al-Makmun yang menunjuk saudaranya al-Muktashim menjadi khalifah sepeninggal beliau. Setelah al-Muktasim naik tahta, dia membentuk tentara reguler yang terdiri dari orang-orang Turki. Begitu besarnya peranan orang-orang Turki dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah menyebabkan para perwira-perwira Turki sudah memegang jabatan yang langsung berada di bawah khalifah (memonopoli jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan). Karena keberadaan orang-orang Turki dalam jabatan pemerintahan Dinasti Abbasiyah tidak dapat ditekan, maka terpaksa khalifah al-Mustakfi (ke-22) minta bantuan Bani Buwaihi untuk menekan mereka. Para khalifah yang dibawah dominasi Turki adalah, 
10. Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil (232–247 H / 847–861 M), 
11. Abu Ja’far Muhammad al-Muntashir (247–248 H / 861–862 M), 
12. Abu Abbas Ahmad al-Musta’in (248–252 H / 862–866 M), 
13. Abu Abdullah Muhammad al-Mu’taz (252–255 H / 866–869 M), 
14. Abu Ishaq Muhammad al-Muhtadi (255–256 H / 869–870 M), 
15. Abu Abbas Ahmad al-Mu’tamid (256–279 H / 870–892 M), 
16. Abu Abbas Muhammad al-Mu’tadhid (279–289 H / 892–902 M),  
17. Abu Muhammad Ali al-Muktafi (289–295 H / 902–908 M),  
18. Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir (295–320 H / 908–932 M), 
19. Abu Mansur Muhammad al-Qodhir (320–322 H / 932–934 M), 
20. Abu Abbas Ahmad ar-Radhi (322–329 H / 934–940 M), 
21. Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi (329–333 H / 940–944 M). 
22. Abu Qosim Abdullah al-Mustaqfi (333–334 H / 944–946 M), 

Periode Ketiga (334 - 447 H / 945 M - 1055 M) 
Ciri utama priode ketiga adalah Dinasti Abbasiyah berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Baghdad. Baghdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin Buwaihi. Kehadiran Bani Buwaihi dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah diawali dari terjadinya tekanan dan paksaan yang dilakukan orang-orang Turki dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah Maka kehadiran Bani Buwaihi itu dimaksudkan untuk membatasi dominasi orang-orang Turki tersebut. Khalifah pada priode ini mulai dari khalifah ke 23 sampai 26 yaitu, 
23. Abu Qosim al-Fadl al-Mu’thi (334–363 H / 946–974 M), 
24. Abu Fadl Abdul Karim at-Tha’i (363–381 H / 974–991 M), 
25. Abu Abbas Ahmad al-qadir (381–422 H / 991–1031 M), 
26. Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im (422–467 H / 1031–1075 M). 

Periode Keempat (447 - 590 H /1055 - l194 M) 
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Seljuk dalam kehadirannya atas undangan Khalifah al-Qaim (ke-26) untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad, yang secara paksa mengancam rakyat untuk menganut faham Syi’ah. Karena ini tidak sesuai dengan pemikiran dan opini rakyat banyak. Pemaksaan ini membawa resiko besar terhadap kelanjutan Daulah Abbasiyah. Maka setelah ia berhasil merebut dan menguasai ibu kota Baghad, ia menahan penguasa Bani Buwaihi yang terakhir Malik al-Rahim (1058 M) sampai meninggal dalam tahanan. Jadi latar belakang masuknya Turki Saljuk dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah untuk membantu mengatasi persoalan yang dihadapinya dengan Bani Buwaihi. Pemimpin Dinasti Abbasiyah yang berada dibawah masa pengaruh Bani Seljuk adalah, 
27. Abu Qasim Abdullah al-Muqtadi (467–487 H / 1075–1094 M),  
28. Abu Abbas Ahmad al-Mustazhir (487–512 H / 1094–1118 M),  
29. Abu Mansur al-Fadl al-Murtasyid (512–529 H / 1118–1135 M), 
30. Abu Ja’far Mansur ar-Rasyid (529–530 H / 1135–1136 M), 
31. Abu Abdullah Muhammad al-Muqtafi (530–555 H / 1136–1160 M), 
32. Abu Muzaffar al-Mustanjid (555–566 H / 1160–1170 M), 
33. Abu Muhammad al-Hasan al-Mustadhli (566 – 575 H / 1170–1180 M), 
34. Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir (575–622 H / 1180–1225 M), 
35. Abu Nasr Muhammad az-Zhahir (622–623 H / 1225–1226 M), 
36. Abu Ja’far al-Mansur al-Mustanshir (623–640 H / 1226–1242 M), 
37. Abu Ahmad Abdullah al-Mu’tashim (640 – 656 H / 1242–1256 M). 

Periode Kelima (590 - 656 H / 1194 - 1258 M) 
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau Dinasti Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Dinasti Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Karena banyak dinasti-dinasti islam memerdekakan atau melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad saat itu. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol menyerang Baghdad. Khalifah terakhir Abbasiyah tidak berdaya membendung tentara mongol. Jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol secara otomatis mengakhiri kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah. 


C. PERADABAN ISLAM YANG DIBANGUN DINASTI ABBASIYAH 
1. Pemerintahan / Tata Negara 
a. Menteri (wazir) 
Hal baru dalam sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah adalah kementerian, Pada masa Bani Umayyah, nama seorang menteri tidak diketahui dengan namanya, tetapi dengan perbuatannya. la adalah sekretaris dan konsultan khalifah. Adapun Bani Abbasiyah, sebelum menguasai pemerintahan, mereka mempunyai seorang menteri. Yang pertama menggunakan istilah kementerian adalah Abu Salamah al-Khallal, guru besar pendukung Abbasiyah di Kufah. Dia dikenal sebagai wazir (menteri) keluarga Muhammad. Dia bekas budak Bani Harits bin Ka’ab. Perilakunya murah hati, dermawan, fasih, pandai sejarah, syair, berdebat, dan tafsir, serta kaya dan terhormat. 
b. Militer (Tentara / Pasukan Perang) 
Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut Diwanul Jundi untuk mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Mereka juga memiliki persenjataan lengkap dan berseragam. Pasukan perang terdiri atas mereka yang berkewajiban membela negara untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan menjaga kewibawaannya. Pasukan perang pada permulaan Abbasiyah terdiri atas dua kelompok: pasukan Khurasan dan pasukan Arab. Panglima atau pemimpin pasukan terdiri atas dua kelompok. Ada yang dari bangsa Arab dan ada yang dari bekas budak. Panglima terbesar yang dikenal pada permulaan Abbasiyah adalah Abu Muslim al-Khurasani yang memimpin pasukan Khurasan Timur dan Abdullah bin Ali yang memimpin pasukan Barat. Pasukan terbesar berasal dari bangsa Arab dan Suriah. Termasuk panglima Arab yang terkenal adalah Ma’an bin Zaidah, 
c. Gubernur (Amir)
Pemerintahan pada masa Abbasiyah terbagi ke dalam beberapa propinsi yang dipimpin oleh amir (setingkat gubernur) yang dipilih langsung oleh khalifah. Di antara propinsi pada masa Abbasiyah adalah Afrika, Mesir, Suriah dan Palestina, Hijaz dan Yamamah, Yaman dan Arab Selatan, Bahrain dan Oman, Sawad, Jazirah, Azerbaijan, Jibal, Kuzistan, Faris, Karman, Mukran, Sijistan, Khurasan, Kawarizm, Shougda, Farganah, Tashken, dan Turki. Wilayah tersebut diatur oleh para gubernur. Namun, karena digenggam oleh tangan khalifah, kekuasaan gubernur diatur sehingga seorang gubernur tidak bisa memiliki kekuasaan yang besar (tidak bisa memegang seluruh kekuasaan). Mereka penanggung jawab pajak (mengumpulkan harta). Namun, para gubernur tidak bisa menguasai harta tersebut. 
d. Sekretaris 
Sekretaris berwewenang menulis surat kepada para raja, gubernur, dan pejabat lainnya. Meski demikian, khalifah juga kerap menulis surat tersebut sendiri 
e. Hijabah (penjaga pintu) Penjaga pintu adalah pejabat besar. Tidak seorang pun boleh menghadap khalifah, kecuali dengan izinnya. Pada masa Dinasti Umawiyah, penjaga pintu sudah ada. Mereka merasa perlu penjaga pintu karena takut pengacau setelah perbuatan Khawarij kepada Ali, Amr, dan Muawiyah. 
f. Polisi 
Polisi adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan. Al-Manshur memilih polisi dari orang yang paling bisa dipercaya, paling kuat, serta memiliki kuasa yang besar terhadap para penjahat dan orang-orang yang membahayakan. 
g. Kehakiman (al-Qodli)
Hakim hanya menangani kasus yang terjadi di ibu kota. Dia tidak memiliki wewenang atas hakim hakim negeri karena jabatan menteri agama belum ada saat itu. Hakim ditunjuk oleh khalifah, namun mereka tidak tunduk kepada gubernur 
h. Biro Pemerintahan 
Dinasti Abbasiyah memiliki beberapa biro pemerintahan, yaitu biro pajak, kantor pegawas, dewan korespondensi atau biro arsip yang menagani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah, ada dewan penyelidik atau semacam pengadilan tingkat banding pengadilan tinggi, intel, penanggung jawab surat, dan pos. 

2. Ilmu Pengetahuan 
Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Meraka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini. 
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang lima abad (750 – 1258 M), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak lepas dari peran serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan kuat, baik dukungan moral, material dan finansial, kepada para ulama. Perhatian yang serius dari pemerintah ini membuat para ulama yang ingin mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan perdaban Islam. Kemajuan pesatnya ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah diawali melalui tiga pengembangan ilmu. Pertama, digalakkannya diskusi-diskusi ilmiah di kalangan para tokoh dan ahli. Kedua, penerjemahan besar-besaran karya-karya berbahasa Persia, Sansekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab, Ketiga, didirikannya perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku-buku tersebut. Dengan dukungan penuh dari khalifah umat Islam dengan giat melakukan penerjemahan. 
 Di antara ilmu-ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut : 
a. Ilmu Tafsir 
Pada masa Dinasti Abbasiyah, berkembang dua aliran tafsir yang terus digunakan hingga sekarang. Dua aliran tafsir itu adalah tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan kepada penafsiran ayat-ayat Alquran dengan hadis dan pendapat-pendapat para sahabat. Ahli tafsir Alquran yang terkenal di masa itu adalah Ibn Jarir al-Thabari dengan karangannya yang bertajuk Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Alquran. Ada pula dikenal Al-Baidhawi dengan Mu’allim Al-Tanzil, Al-Zamakhsyari dengan karangannya yang berjudul Al-Kasyaf, Al-Razi dengan Tafsir Al-Kabir, dan lain sebagainya. 
Sementara itu, aliran yang kedua lebih banyak berpijak pada logika / akal dari pada nas syariat. Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham, Abu muslim Muhammad bin Badr al-Ishfahani dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil. Dan Ibnu Jaru al-asadi, ar-Razi dengan tafsirnya al-Muqthathaf, dan lain-lain. b. Ilmu Hadist 
Banyak ulama yang terkenal, diantaranya al-Aimmah al-Sittah (enam imam), yaitu Imam Bukhari (al-Jami’ al-shahih, Tarikh al-Kabir), Imam Muslim (al-Jami’ Shahih Muslim), Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah), Abu Dawud (Sunan Abi Dawud), Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi), dan Nasa’i (Sunan an-Nasa’i). 
c. Ilmu Kalam atau Teologi 
Islam Berkat singgungan Islam dengan filsafat Yunani, berkembang juga ilmu kalam atau teologi Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Alquran dan hadis ditelaah kembali menggunakan akal dan rasio. Salah satu mazhab ilmu kalam, aliran Mu'tazilah, mencapai masa keemasannya di Dinasti Abbasiyah. Tokoh-tokoh seperti Washil bin Atha', Abu Huzail, dan An-Nadzham tercatat sebagai orang-orang berpengaruh di aliran ini. Di masa kepemimpinan Khalifah Al-Ma'mun, aliran Mu'tazilah bahkan dijadikan mazhab resmi dinasti ini. Terdapat pula ulama Abu Hasan Al-Asyari yang berusaha menjembatani pemikiran Mu'tazilah dan hadis-hadis nabi. Pemikirannya hingga sekarang terus dipelajari umat Islam. 
d. Ilmu Fiqh 
Munculnya ulama’-ulama terkemuka, seperti Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (Musnad al-Imam al-A’dham/Fiqh Akbar), Malik bin Anas (al-Muwatha’), Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (ar-Risalah), dan Ahmad bin Hambal (al-Musnad). 
e. Ilmu Tasawuf 
Beberapa ulama’ besar tokoh dibidang tasawuf yang muncul di masa Dinasti Abbasiyah seperti Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali (Imam Ghazali) bergelar Hujjatul Islam dengan kitabnya hya’ Ulumuddin, al-Basit, al-Wajiz, al-Munqidz min Adl Dlalal, Bidayatul Hidayah, Maqashidul Falasifah, Tahafutul Falasifah, dan lain-lain. Al-Hallaj dengan karyanya At-Thawashin, hingga Awarifu Al-Ma'arif yang ditulis Syahabuddin, Syahabuddin. Abu Kasim Abul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (Al-Qushairi) dengan karangannya Risalah Qusyairiyah, diberi syarah oleh Syaikhul Islam, Zakaria al-Anshari dengan judul Ihsanud Dilalah fi Syarah Risalah). Juga Junaid al-Baghdadi dianggap sebagai penghulu akhirat (murid-muridnya yang terkenal ialah Abu Bakar al-Atthar, Abu Muhammad al-Jurairi, Anu Bakar al-Athawy, dan lain-lain). 
f. Ilmu Falsafat 
Kaum Muslimin baru mengenal falsafat setelah mereka bergaul dengan bangsa-bangsa lain, seperti Yunani, Persia, dan India. Dan setelah buku-buku falsafat mereka diterjamahkan ke dalam bahasa Arab. Filosof Muslim pertama adalah Al-Kindi (194 – 260 H / 809 – 873 M). Al-Kindi sangat terpengaruh dengan falsafat Aristoteles tentang hukum kausalitas dan sebagian dari falsafat Neoplatonisme. Dalam dunia falsafat dia dijuluki dengan filosof Arab. Karena dialah satu-satunya orang Arab yang menekuni falsafat, di samping sebagai seorang filosof, dia juga terkenal dalam bidang matematika, astronomi, geografi, dan lain-lain. Filosof besar Muslim lainnya adalah Ibn Sina (370 – 428 H / 980 – 1087 M). meskipun dia berusia pendek, namun sempat meninggalkan karya yang penting antara lain: al-Syifa’, al-Qonun fi al-Tibbi, al-Musiqa, dan al-Mantiq. 
Di antara pengagumnya adalah Alberto Magnus, guru Thomas Aquino. Al-Farabi (259 – 339 H / 873 – 950 M) dikenal dalam dunia falsafat dengan julukan al-Muallim al-Tsani (guru kedua setelah Aristoteles). Selain sebagai filosof, dia juga dikenal sebagai peletak dasar ilmu musik dan dia telah memberikan pembagian ilmu pengetahuan secara sistematis. Dengan demikian dia dipandang sebagai pelanjut tugas Aristoteles. 
g. Ilmu Sejarah 
Adapun tokohnya adalah al-Mas’ud berjuluk pemimpin para sejarawan. Di bidang sejarah, muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun. Awalnya, ia belajar di Al-Azhar, Mesir. Usai menuntut ilmu di sana, Ibnu Khaldun mendirikan lembaga pendidikannya sendiri untuk mengkaji dan mempelajari sejarah. Murid-murid yang belajar langsung pada Ibnu Khaldun adalah Al-Aqrizi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Jalaluddin As-Suyuti, dan lain sebagainya. 
h. Ilmu Kedokteran 
Ilmu kedokteran Islam telah ada semenjak masa Rasulullah. Di kala itu dokter yang terkenal adalah Al-Harits bin Al-Kananah. Kedokteran Islam baru berkembang pada masa dinasti Abbasiyah setelah mendapat pengaruh dari Judhisafur dan Iskandariyah. Judhisafur adalah sebuah perguruan kedokteran di Persia, dan terdapat dokter-dokter yang berkumpul dari Yunani, Persia dan India. Sedangkan Iskandariyah pada waktu itu merupakan pusat kedokteran Yuanani di timur. Pengaruh langsung dari Judhisafur ke dalam Islam terjadi ketika al-Mansur meminta bantuan dokter-dokter dari sana. Pada waktu itu yang mengepalai pusat medisnya adalah Jirjis Bukhtyshu. Selain itu melalui penerjemahan buku-buku kedokteran berbahasa Persia, Yunani dan India ke dalam bahasa Arab turut juga mempengaruhi berkembangnya ilmu kedokteran dalam Islam. Penerjemahan pertama buku kedokteran berbahasa Persia ke dalam bahasa Arab adalah al-Muqaffa, sedangkan penerjemah yang paling terkenal adalah Hunain bin Ishak, dan dia sekaligus sebagai dokter pribadi al-Mukmin. 
Melalui terjemahan-terjemahan buku tersebut melahirkan tokoh besar kedokteran Islam, seperti Ali bin Rabba al-Thabari, Abu Bakar Muhammad Bin Zakariya Ar-Razi (al-Razi) dokter anak masyhur dengan karya kedokteran Al-Hawi, buku ensiklopedia kedokteran. Dan Abu Ali Husain bin Hasan Ali bin Sina (Ibn Sina). Bahkan dua yang terakhir sangat berpengaruh di timur dan barat. Sumbangan terbesar al-Razi adalah tentang cacar dan campak, sedangkan karya terbesar Ibn Sina di bidang kedokteran adalah bukunya al-Qanun fi alThibbi, yang mengkodifikasi pemikiran kedokteran Yunani dan Arab, menjadi referensi penting kedokteran di masa itu, bahkan sempat menjadi rujukan primer kedokteran di Eropa selama lima abad (dari abad ke-12 hingga 17 M). 
i. Ilmu Farmasi 
Ilmu farmasi adalah pelengkap bagi ilmu kedokteran, sehingga dokter-dokter muslim menulis tentang farmasi dan botani sebagai dua ilmu yang sangat berguna dalam pengobatan, sehingga Ibn Sina dalam karya monumentalnya, al-Qonun fi al-Tibbi menyediakan satu jilid khususnya membahas materi-materi kedokteran dan farmasi. Dia mendeskripsikan dengan rinci tentang tetumbuhan yang menghasilkan obat dan beberapa macam hewan dan barang-barang tambang yang juga menghasilkan obat. Juga al-Biruni menulis sebuah buku tentang bahan obat-obatan dengan judul farmasi. Demikian juga Ibn AlHaytsham menulis sebuah buku yang berjudul pengobatan.
 j. Ilmu Matematika 
Perkembangan ilmu matematika dalam Islam terjadi pada masa al-Mansur karena perencanaan pembangunan kota Baghdad didasarkan pada perhitungan matematis, sebab banyak berkumpul matematikawan untuk meneliti rencana tersebut. Salah satu sumbangan besar matematikawan muslim adalah penemuan dan penggunaan angka 0 (nol) dalam bahasa yang disebut sifir. Tanpa angka ini akan menyulitkan manusia dalam membuat simbol-simbol bilangan. Dalam hal ini barat ketinggalan 250 tahun dari Islam. Di antara matematikawan muslim yang terkenal adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Dialah yang paling berjasa dalam memperkenalkan angka-angka dalam perhitungan sebagai ganti alfabeta dan dia pula orang pertama yang membicarakan aljabar secara sistematis. 
k. Ilmu Astronomi 
Ilmuwan-ilmuwan muslim merupakan pakar astronomi. Ilmu astronomi diperlukan untuk tujuantujuan keagamaan, seperti menentukan waktu shalat, waktu fajar dan munculnya bulan di bulan Ramadhan serta menentukan arah kiblat. Para astronom muslim mempelajari karya-karya Yunani dan Iskandariyah khususnya Al-Magnestya Ptolemius, di samping karya orang-orang Chadea, Syria, Persia dan India. Di masa pemerintahan al-Mansur, dia menyuruh Abu Yahya al-Batriq menerjemahkan buku Quadripartitumnya Ptolemius ke dalam bahasa Arab yang berisi tentang pengaruh bintang-bintang dan buku-buku geometri dan fisika yang dimintanya dari Kaisar Byzantium. 
Di antara sarjana-sarjana astronom muslim adalah Tsabit bin Qurra, al-Balhi, Hunain bin Ishak, Al-Abbadi al-Battani, al-Buzjani al-Farghani dan lain-lain. Dan sarjana astronomi muslim termasyhur pada masa al-Makmun adalah Yahya bin Mansur. Dia mengumpulkan tabel-tabel astronomi bekerja sama dengan Samad bin Ali. Buku “Prinsip-prinsip Astronomi” karangan al-Farghani memperoleh penghargaan tinggi di Universitas Bologna di Italia, selama masa renaeissance 
l. Ilmu Fisika 
Ilmu fisika pun turut berkembang pesat pada masa dinasti Abbasiyah. Di antara fisikawan muslim terkenal adalah Ibn Sina. Dalam bukunya al-Syifa’, dia membahas tentang kecepatan suara dan cahaya. Menurut pendapatnya penglihatan mendahului pendengaran. Hal ini disebabkan kenyataan bahwa melihat tidak memerlukan waktu, sementara mendengar memerlukannya. Jangkauan penglihatan lebih jauh daripada jangkauan pendengaran. Akan tetapi kilat lebih cepat dari petir walaupun terjadi secara bersamaan. Jadi kilat terdengar seketika, sedangkan petir terdengar belakangan. 
Ibn al-Haitsham termasuk juga dalam jajaran fisikawan terkemuka. Ia juga seorang peneliti optik yang besar. Ia dikenal di Eropa dengan nama al-Hazen. Ia menulis kira-kira 24 buah buku tentang fisika. Al-Biruni terkenal karena sumbangan-sumbangannya dalam bidang fisika. khususnya mekanika dan hidrosatika. Dia membahas tekanan dan ekuilibrium benda-benda cair dan semburan ke atas dari mata air. 
AlBiruni menetapkan grafitasi 18 macam logam sampai 4 desimal. Al-Kahzin mengatakan bahwa udara adalah suatu zat yang mempunyai berat. Dia juga menunjukkan bahwa udara mempunyai tenaga mengangkat ke atas, sama halnya dengan tenaga air sehingga berat sesuatu benda di udara kurang dari berat yang sesungguhnya. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa kuat grafitasi berubah sesuai dengan jarak antara benda yang jatuh dengan benda yang menariknya. Karya-karya Ibn Sina, Ibn al-Haitsham, al-Biruni, al-Khazin dan sarjana-sarjana muslim lainnya tetap menjadi karya-karya standar dan dipelajari oleh sarjana-sarjana Barat sampai akhir abad ke 17 
m. Ilmu Kimia 
Jabir bin Hayyan terkenal di seluruh dunia sebagai Bapak ilmu kimia muslim. Bahkan ada yang berpendapat bahwa tidak ada ilmu kimia sebelum Jabir dalam pengertian yang sesungguhnya (sebelumnya hanya untuk tujuan-tujuan praktis). Jabir mengembangkan secara ilmiah dua operasi utama kimia, yaitu kalnikasi dan reduksi kimia. Ia juga memperbaiki metode penguapan, sublimasi, peleburan, dan kristalisasi. Mengajukan gagasannya tentang pengubahan beberapa macam logam menjadi emas murni. Disebutkannya dalam ilmu kimia ada keseimbangan, karena emas adalah logam yang paling tahan terhadap panas, maka jika ada keadaan sumbang dalam empat property logam, maka adalah mungkin untuk mengubahnya menjadi emas murni. 
Buku-buku hasil karangan Jabir tentang kimia dan sains-sains lainnya masih menjadi rujukan hingga sekarang mencakup Kitab At-Tajmi' (tentang Konsentrasi), Az-Zi’baq As-Syarqi (Air Raksa Timur), Kitab Ar-Rahmah, dan lain sebagainya yang telah diterjamahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi rujukan standar dan dipelajari sarjana-sarjana Eropa seperti Kupp, Halmyard, M. Berthelat, P. Krans dan G. Sarten. Al-Magriti juga salah seorang ilmuan-ilmuan kimia. Dia menulis sebuah buku mengenai kimia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sekarang dianggap sebagai sumber penting mengenai sejarah kimia 
n. Ilmu Geografi 
Pada masa Dinasti Abbasiyah, peta dunia atau globe pertama dibuat. Globe ini dikenal dengan sebutan Tabule Regoriana. Penyusunan globe ini dipelopori oleh Al-Idrisi atau Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Abdullah Al-Idrisi. Peta berbahasa Arab tersebut menampilkan daratan Eurasia, benua Afrika, dan Asia Tenggara. Peta Tabule Regoriana inilah yang dijadikan rujukan Christopher Columbus untuk mengelilingi dunia hingga menemukan benua Amerika. 
Geografi dalam Islam muncul sebagai ilmu akibat perkembangan kota Baghdad sebagai pusat perdagangan. Hal itu mendorong umat Islam untuk mewujudkan keamanan dalam perjalanan, sehingga muncullah ilmu geografi. Karena banyak di antara mereka yang membuat catatan tentang daerah-daerah lawatan yang akan dilaluinya. Di masa awal dinasti Abbasiyah telah muncul ahli geografi muslim bernama Ibn Khardazabah yang menulis sebuah buku tentang geografi dengan judul al-Masalik wa al-Mamalik. Buku ini merupakan buku geografi tertua dalam bahasa Arab. 
Karya-karya besar umat Islam dalam bidang ilmu-ilmu kealaman ini mambawa pengaruh cukup besar bagi peradaban barat hingga dewasa ini. Karena banyak karyakarya mereka yang dijadikan buku standar pada Universitas-universitas Barat berabad-abad lamanya. Pengaruh karyakarya ilmuan-ilmuan ini menerobos ke Barat melalui Andalusia, Cicilia, Perang Salib, Baghdad dan Mesir. 

3. Pembangunan 
1. Membangun Kota Baghdad 
Baghdad dijadikan sebagai pusat ibu kota karena memilki udara yang bersih dan segar, berarti sehat lingkungan dan memiliki sumber kehidupan yang mudah diperoleh masyarakat berarti mempunyai potensi ekonomi. Kota Baghdad didirikan di pinggir sebelah barat sungai Tigris oleh khalifah al-Mansur yang dapat menghubungkan kota ini dengan negeri-negeri lain, sampai ke Tiongkok untuk ekspor barang dan dapat mendatangkan segala sesuatu yang diperlukan, baik hasil lautan maupun bahan makanan yang dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia dan daerah-daerah sekitarnya sebagai bahan impor 
Kota Baghdad dibangun menjadi kota metropolitan dengan mempekerjakan tidak kurang dari 100.000 orang pekerja yang didatangkan dari berbagai daerah seperti Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah. Kota Baghdad berbentuk bundar, di sekelilingnya dibangun tembok tinggi, di luar tembok digali parit besar yang berfungsi selain sebagai saluran air, sekaligus sebagai benteng pertahanan. Selain itu untuk setiap orang yang ingin memasuki kota, disediakan empat buah pintu gerbang. Keempat pintu gerbang itu adalah Bab al-Khufah (sebelah barat daya), Bab al-Khurasan (timur laut), Bab al-Syam (barat laut), Bab alBasrah (sebelah tenggara). Diantara masing-masing pintu gerbang itu dibangun 28 bendera sebagai tempat pengawal negara yang bertugas memantau keadaan di luar. Di atas tiap pintu dibangun tempat peristirahatan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah menurut seni arsitektur Persia, yang diberi nama al-Qasru al-Zahabi, yang artinya istana emas. Istana ini dilengkapi dengan bangunan mesjid, tempat pengawal istana, polisi dan tempat tinggal putera-putera dan keluarga khalifah. Di sekitar istana dibangun pasar tempat perbelanjaan. 
Selain sebagai ibu kota dan letak istana khalifah, Baghdad dijadikan sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan intelektual berbagai cabang ilmu pengetahuan, pendidikan agama dan kesenian. didirikanlah Bayt al-Hikmah, sebuah akademisi ilmiyah yang menjadi pusat kegiatan intelektual atau aktifitas keilmuan, mulai dari penelitian penerjemahan sekaligus perpustakaan. Ditambahkan bangun khusus sebagai observatorium untuk penelitian astronomi. Dengan demikian Baghdad menjadi sebuah kota yang mengoleksi barbagai karya keilmuan yang sangat agung. 
Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah terus bertambah. Hal ini disebabkan dengan semakin semangat dan bertambahnya umat Islam yang hendak menuntut dan sekaligus memperdalam ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan oleh khalifah dilengkapi dengan berbagai fasilitas atau perlengkapan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah kaum muslimin mencari sumber dan informasi tentang ilmu pengetahuan yang diminatinya. Adapun kota-kota besar yang menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah antara lain Mekah, Madinah, Kufah, Damaskus, Fusthat, dan Qairawan. Sedangkan beberapa kota baru yang dibuka sebagai pusat pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah antara lain Baghdad, Isfahan, Naisabur, Basrah dan lain-lain 
2. Ekonomi 
Di tinjau dari segi ekonomi letak kota ini sangat menguntungkan, sebab di situ terletak sungai Tigris yang dapat menghubungkan kota dengan negara lain. Sampai ke Tiongkok untuk ekspor barang, dan dapat mendatangkan segala sesuatu yang diperlukan baik hasil lautan, maupun bahan makanan yang dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia, dan daerah-daerah sekitarnya sebagai bahan impor. Dengan adanya aktivitas ekspor-impor itu maka perekonomian Daulah Abbasiyah dapat berkembang Pada waktu al-Mansur memerintah, keadaan ekonomi Dinasti Abbasiyah masih morat-marit, untuk itu al-Mansur menata perekonomiannya dengan memperkembangkan melalui pelabuhan Baghdad, karena letak kota Baghdad di pinggir sungai Tigris, memudahkan berkembang perdagangan, impor-ekspor dapat digalakkan, pada gilirannya ekonomi semakin berkembang sehingga rakyat bisa hidup makmur. 
3. Sosial Budaya 
Di antara kemajuan dalam bidang sosial budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Karna dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, dan kota-kota, seperti pada istana qohsrul dzahabi, dan qoshrul khuldi. Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa ini lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas Abu athaHiyah, Al-Mutanabby, Abdullah bin Muqafa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini. 

 PENUTUP 
A. Simpulan 
Kerajaan Islam Abbasiyah, memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Islam, hingga dikatakan sebagai zaman keemasan, kejayaan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Berbagai literatur mengungkapkan secara konkrit zaman keemasan ini dibangun oleh pemimpin-pemimpin yang kuat, berkompeten dan siap menghadapi berbagai tantangan zaman, sebagai hasil kerja keras para khalifah Abbasiyah menjadikannya sebagai kerajaan terbaik dalam mengukir prestasi. Abbasiyah bagian periodesasi Islam ketiga setelah masa Dinasti Umayyah. Kekuasaan kekhalifahan bertahan sekitar lima abad dengan jumlah 37 khalifah. Dinasti Abbasiyah (750-1208 M) juga merupakan dinasti yang menelurkan konsep-konsep keemasan Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Zaman keemasan Islam yang ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai sektor telah membawa kemakmuran tersendiri pada masyarakat saat itu. Kemajuan di segala bidang yang diperoleh Bani Abbasiyah menempatkan bahwa Bani Abbasiyah lebih baik dari bani Umayyah. Di samping itu pada masa Dinasti ini banyak terlahir tokoh-tokoh intelektual muslim yang cukup berpengaruh sampai saat ini. 
 
DAFTAR PUSTAKA 
Al-Usairy, Ahmad. 1996. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Riyadh: Akbar. ZubaidahSiti. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Medan: Perdana Publishing. Al-‘Ilm, Dar. 2011. Atlas Sejarah Islam. Jakarta: Kaysa Media. Sari, Kartika. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Bangka: Shiddiq Press Sewang, Anwar. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Sulawesi Selatan: STAIN Parepare Nasution, Syamruddin. 2007. Sejarah Peradaban Islam. Riau: Yayasan Pusaka Riau Al-Azizi, Abdul Syukur. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. Noktah A-Isy, Yusuf. 1968. Dinasti Abbasiyah: Pustaka Al-Kautsar

0 comments: